Jumat, 19 Maret 2010

ANALISIS BIAYA DALAM FARMAKOEKONOMI

ANALISIS BIAYA DALAM FARMAKOEKONOMI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Pengertian Farmakoekonomi
Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang diperoleh dihubungkan dengan pengunaan obat dalam perawatan kesehatan. Analisis farmakoekonomi menggambarkan dan menganalisa biaya obat untuk sistem perawatan kesehatan. Studi farmakoekonomi dirancang untuk menjamin bahwa bahan-bahan perawatan kesehatan digunakan paling efisien dan ekonomis (Orion, 1997).



Farmakoekonomi di defenisikan juga sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan, lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi serta determinasi suatu alternatif terbaik. Evaluasi farmakoekonomi memperkirakan harga dari produk atau pelayanan berdasarkan satu atau lebih sudut pandang (Vogenberg, 2001).

1.2    Ruang Lingkup Farmakoekonomi
Ruang lingkup farmakoekonomi tidak hanya untuk para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan, industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, dengan kebutuhan dan cara pandang yang berbeda.
Bagi pemerintah, farmakoekonomi sangat berguna dalam memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, serta membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Contoh kebijakan terkait farmakoekonomi yang relatif baru diterapkan di Indonesia adalah penerapan kebijakan INA-DRG (Indonesia-Diagnosis Related Group) yang menyetarakan standar pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.
Hasil studi farmakoekonomi dapat berguna untuk industri farmasi dalam hal, antara lain penelitian dan pengembangan obat, strategi penetapan harga obat, serta strategi promosi dan pemasaran obat.
Selain itu, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan obat mana saja yang dapat dimasukkan atau dihapuskan dalam formularium rumah sakit, yang biasanya disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi Rumah Sakit. Farmakoekonomi juga dapat digunakan sebagai dasar penyusunan pedoman terapi obat.
Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan mewujudkan penggunaan obat yang rasional dengan membantu pengambilan keputusan klinik, mengingat penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan aspek keamanan, khasiat, dan mutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek ekonomi. Pada akhirnya, pasien diharapkan akan memperoleh alokasi sumber daya pelayanan kesehatan yang optimal dengan cara mengukur serta membandingkan aspek khasiat serta aspek ekonomi dari berbagai alternatif terapi pengobatan.
Dengan memahami peranan farmakoekonomi dalam mengendalikan biaya pengobatan, sudah selayaknya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam proses pengambilan kebijakan pelayanan kesehatan sehingga dapat tercapai hasil yang efisien dan ekonomis. Kesadaran akan terbatasnya sumber daya dalam upaya pelayanan kesehatan membuat kebutuhan akan farmakoekonomi menjadi semakin mendesak.
1.3    Tujuan Farmakoekonomi
Tujuan dari farmakoekonomi diantaranya membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama selain itu juga dapat membandingkan pengobatan (treatment) yang berbeda untuk kondisi yang berbeda). Adapun prinsip farmakoekonomi sebagai berikut yaitu menetapkan masalah, identifikasi alternatif intervensi, menentukan hubungan antara income dan outcome sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat, identifikasi dan mengukur outcome dari alternatif intervensi, menilai biaya dan efektivitas, dan langkah terakhir adalah interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya terbatas misalnya pada RS pemerintah dengan dana terbatas dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien, profesi pada pelayanan kesehatan (Dokter, Farmasis, Perawat) dan administrator tidak sama dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001).

















BAB II
ANALISIS BIAYA TERAPI DAN ANALISIS COST-MINIMIZATION


     2.1. Klasifikasi biaya
Metode-metode analisis dan evaluasi ekonomi yang digunakan dalam farmakoekonomi meliputi: Cost-Minimization Analysis (CMA), Cost-Effectiveness Analysis (CEA), Cost-Benefit Analysis (CBA), dan Cost-Utility Analysis (CUA) (Trisnantoro, 2005).
a.    Cost-Minimization Analysis
Cost-Minimization Analysis adalah tipe analisis yang menentukan biaya program terendah dengan asumsi besarnya manfaat yang diperoleh sama. Analisis ini digunakan untuk menguji biaya relatif yang dihubungkan dengan intervensi yang sama dalam bentuk hasil yang diperoleh. Suatu kekurangan yang nyata dari analisis cost-minimization yang mendasari sebuah analisis adalah pada asumsi pengobatan dengan hasil yang ekivalen. Jika asumsi tidak benar dapat menjadi tidak akurat, pada akhirnya studi menjadi tidak bernilai. Pendapat kritis analisis cost-minimization hanya digunakan untuk prosedur hasil pengobatan yang sama (Orion, 1997).

Metode Cost-minimization analysis (CMA) membandingkan biaya total penggunaan 2 atau lebih obat yang khasiat dan efek samping obatnya sama (ekuivalen). Karena obat-obat yang dibandingkan memberikan hasil yang sama, maka CMA memfokuskan pada penentuan obat mana yang biaya per-harinya paling rendah.

Contoh dari analisis cost-minimization adalah terapi dengan antibiotika generik dengan paten, outcome klinik (efek samping dan efikasi sama), yang berbeda adalah omset dan durasinya. Maka pemilihan obat difokuskan pada obat yang biaya per-harinya lebih murah (Vogenberg, 2001).



b.  Cost-Benefit Analysis
Analisis Cost-Benefit adalah tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Tipe analisis ini sangat cocok untuk alokasi bahan-bahan jika keuntungan ditinjau dari perspektif masyarakat. Analisis ini sangat bermanfaat pada kondisi antara manfaat dan biaya mudah dikonversi ke dalam bentuk rupiah (Orion, 1997).

Merupakan tipe analisis yang mengukur biaya dan manfaat suatu intervensi dengan beberapa ukuran moneter, dan pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan. Dapat digunakan untuk membandingkan perlakuan yang berbeda untuk kondisi yang berbeda. Merupakan tipe penelitian farmakoekonomi yang kompreherensif dan sulit dilakukan karena mengkonversi benefit kedalam nilai uang (Vogenberg, 2001).

Metode Cost-Benefit analysis (CBA) mengukur dan membandingkan biaya penyelenggaraan 2 program kesehatan dimana outcome dari kedua program tersebut berbeda (contoh: cost-benefit dari program penggunaan vaksin dibandingkan dengan program penggunaan obat antihiperlipidemia). Pengukuran dapat dilakukan dengan menghitung jumlah episode penyakit yang dapat dicegah, kemudian dibandingkan dengan biaya kalau program kesehatan dilakukan. Makin tinggi ratio benefit:cost, maka program makin menguntungkan. Metode ini juga digunakan untuk meneliti pengobatan tunggal. Jika rationya lebih dari 1, maka pengobatan dianggap bermanfaat karena ini berarti manfaatnya lebih besar dari biayanya. CBA merupakan analisis yang paling komprehensif dan sulit untuk dilakukan. Berbeda dengan CEA yang menggunakan efek terapeutik sebagai outcome atau CUA yang menggunakan kualitas hidup, maka CBA menggunakan nilai uang dalam mengukur benefit, sehingga dapat menimbulkan perdebatan, sebagai contoh: berapa nilai uang sebuah kualitas hidup seseorang?

Pertanyaan yang harus dijawab dalam cost-benefit analysis adalah alternatif mana yang harus dipilih diantara alternatif-alternatif yang dapat memberikan manfaat atau benefit yang paling besar (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994).

c.   Cost-Effectiveness Analysis
Analisis Cost-Effectiveness adalah tipe analisis yang membandingkan biaya suatu intervensi dengan beberapa ukuran non-moneter, dimana pengaruhnya terhadap hasil perawatan kesehatan.

Metode yang paling sering dilakukan adalah Cost-effectiveness analysis (CEA). Metode ini cocok jika terapi yang dibandingkan memiliki hasil terapi (outcome) yang berbeda. Metode ini digunakan untuk membandingkan obat-obat yang pengukuran hasil terapinya dapat dibandingkan. Sebagai contoh, membandingkan dua obat yang digunakan untuk indikasi yang sama tetapi biaya dan efektifitasnya berbeda. CEA mengubah biaya dan efektifitas ke dalam bentuk ratio. Ratio ini meliputi cost per cure (contoh: antibiotika) atau cost per year of life gained (contoh: obat yang digunakan pada serangan jantung). Pada saat membandingkan dua macam obat, biasanya digunakan pengukuran incremental cost-effectiveness yang menunjukkan biaya tambahan (misalkan, per cure atau per life saved) akibat digunakannya suatu obat ketimbang digunakannya obat lain. Jika biaya tambahan ini rendah, berarti obat tersebut baik untuk dipilih, sebaliknya jika biaya tambahannya sangat tinggi maka obat tersebut tidak baik untuk dipilih.

Analisis Cost-Effectiveness merupakan salah satu cara untuk memilih dan menilai program yang terbaik bila terdapat beberapa program yang berbeda dengan tujuan yang sama tersedia untuk dipilih. Kriteria penilaian pogram mana yang akan dipilih adalah berdasarkan discounted unit cost dari masing-masing alternatif program sehingga program yang mempunyai discounted unit cost terendahlah yang akan dipilih oleh para analisis/ pengambil keputusan (Tjiptoherianto dan Soesetyo, 1994).

Dalam menganalisis suatu penyakit, analisis cost-effectiveness berdasarkan pada perbandingan antara biaya suatu program pemberantasan tertentu dan akibat dari program tersebut dalam bentuk perkiraan dari kematian dan kasus yang bisa dicegah.

Contoh sederhana, program A dengan biaya US $ 25.000 dapat menyelamatkan 100 orang penderita. Sehingga unit costnya atau CE rationya US $ 250/ life. Sedangkan dengan biaya yang sama, program B hanya dapat menyelamatkan 15 orang penderita, berarti unit costnya atau CE rationya mencapai $ 1,677/ life. Dalam hal ini jelaslah bahwa program A yang akan dipilih karena lebih efektif daripada program B (Tjiptoherijanto dan Soesetyo, 1994). Aplikasi dari CEA misalnya dua obat atau lebih digunakan untuk mengobati suatu indikasi yang sama tapi cost dan efikasi berbeda. Analisis cost-effectiveness mengkonversi cost dan benefit (efikasi) ke dalam rasio pada obat yang dibandingkan.

d.   Cost-Utility Analysis
Metode lain adalah Cost-Utility analysis (CUA). Metode ini dianggap sebagai subkelompok CEA karena CUA juga menggunakan ratio cost-effectiveness, tetapi menyesuaikannya dengan skor kualitas hidup. Biasanya diperlukan wawancara dan meminta pasien untuk memberi skor tentang kualitas hidup mereka. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang sudah dibakukan, sebagai contoh digunakan skala penilaian (0= kematian; 10= kesehatan sempurna). Quality-adjusted life years (QALYs) merupakan pengukuran yang paling banyak digunakan.
Analisis Cost-Utility adalah tipe analisis yang mengukur manfaat dalam utility-beban lama hidup; menghitung biaya per utility; mengukur ratio untuk membandingkan diantara beberapa program. Analisis cost-utility mengukur nilai spesifik kesehatan dalam bentuk pilihan setiap individu atau masyarakat. Seperti analisis cost-effectiveness, cost-utility analysis membandingkan biaya terhadap program kesehatan yang diterima dihubungkan dengan peningkatan kesehatan yang diakibatkan perawatan kesehatan (Orion, 1997).

Dalam cost-utility analysis, peningkatan kesehatan diukur dalam bentuk penyesuaian kualitas hidup (quality adjusted life years, QALYs) dan hasilnya ditunjukan dengan biaya per penyesuaian kualitas hidup. Data kualitas dan kuantitas hidup dapat dikonversi kedalam nilai QALYs, sebagai contoh jika pasien dinyatakan benar-benar sehat, nilai QALYs dinyatakan dengan angka 1 (satu). Keuntungan dari analisis ini dapat ditujukan untuk mengetahui kualitas hidup. Kekurangan analisis ini bergantung pada penentuan QALYs pada status tingkat kesehatan pasien (Orion, 1997).

2.2.     Kerangka dalam menetapkan biaya
Strategi dalam mengaplikasikan hasil studi farmakoekonomi untuk menetapkan biaya,  maka sebelum mengaplikasikan data farmakoekonomi ke "dunia nyata", terlebih dahulu harus dimiliki keterampilan dalam mengevaluasi secara kritis hasil penelitian farmakoekonomi yang sudah dipublikasikan. Pedoman dalam melakukan evaluasi penelitian farmakoekonomi telah banyak dipublikasikan.
Untuk menerapkan data farmakoekonomi dari literatur ke "dunia nyata" sesuai situasi dan kondisi setempat, ada 3 strategi yang dapat dilakukan, yaitu:
1.    Menggunakan langsung data dari literatur;
2.     Membuat data model ekonomi (economic modeling data);
3.     Melakukan penelitian sendiri.
Pemilihan strategi yang akan dilakukan sebaiknya mempertimbangkan juga dampak yang akan dihasilkan baik terhadap biaya maupun mutu pelayanan. Jika dampaknya minimal, maka strategi menggunakan data langsung dari literatur dapat dijadikan pilihan. Jika dampaknya lumayan, maka membuat data model ekonomi dapat dipilih. Sedangkan jika dampaknya besar, maka perlu melakukan penelitian sendiri agar data yang didapat benar-benar sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
Dengan keterbatasan sumber daya yang tersedia dalam memberikan pelayanan kesehatan, maka sudah seyogyanya farmakoekonomi dimanfaatkan dalam membantu membuat keputusan dan menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis.

2.3. Aplikasi analisis cost-minimization
Lisa Sanchez, seorang pakar farmakoekonomi dari Amerika Serikat mengemukakan suatu istilah yang disebut applied pharmacoeconomics dan mendefinisikannya sebagai: Putting pharmacoeconomic principles, methods and theories into practice, to quantify the "value" of pharmacy products and pharmaceutical care services utilized in "real-world" environments". Jika kita mengacu pada definisi di atas, maka farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk menilai biaya-manfaat baik dari produk obat maupun pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care).

Farmakoekonomi tidak hanya penting bagi para pembuat kebijakan di bidang kesehatan saja, tetapi juga bagi tenaga kesehatan (dokter, apoteker), industri farmasi, perusahaan asuransi dan bahkan pasien, yang masing-masing mempunyai kebutuhan dan cara pandang yang berbeda. Bagi pembuat kebijakan, farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk: memutuskan apakah suatu obat layak dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi, memilih program pelayanan kesehatan dan membuat kebijakan-kebijakan strategis lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan.

Di tingkat rumah sakit, data farmakoekonomi dapat dimanfaatkan untuk memutuskan apakah suatu obat bisa dimasukkan ke dalam formularium rumah sakit, atau sebaliknya, suatu obat harus dihapus dari formularium rumah sakit karena tidak cost-effective dibandingkan obat lain. Selain itu juga dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun pedoman terapi, obat mana yang akan digunakan sebagai obat lini pertama dan lini berikutnya.

Bagi tenaga kesehatan, farmakoekonomi berperan untuk membantu pengambilan keputusan klinik dalam penggunaan obat yang rasional, karena penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat-bermutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai ekonominya. Sedangkan industri farmasi berkepentingan dengan hasil studi farmakoekonomi untuk berbagai hal, antara lain: penelitian dan pengembangan obat, penetapan harga, promosi dan strategi pemasaran.

Di Australia dan Kanada, hasil studi farmakoekonomi menjadi bahan pertimbangan utama dalam mengevaluasi suatu obat baru yang akan dimasukkan ke dalam daftar obat yang disubsidi pemerintah. Kebijakan ini juga sudah mulai diikuti oleh negara-negara di Eropa. Di Amerika Serikat, beberapa perusahaan asuransi melakukan studi farmakoekonomi sendiri dan tidak tergantung dari hasil studi yang dilakukan industri farmasi.

Apoteker dengan pengetahuannya yang mendalam tentang obat, selayaknya memiliki pengetahuan pula tentang prinsip-prinsip farmakoekonomi, dan akan lebih baik lagi jika mempunyai keterampilan yang memadai dalam mengevaluasi hasil studi farmakoekonomi.


















BAB III
CONTOH KASUS

Farmakoekonomi Dampak Penulisan Resep yang Tidak Sesuai dengan Standar Pengobatan terhadap Pasien di Rumah Sakit Umum Kabupaten

Research Report from JKPKBPPK / 2005-03-24 12:25:00
By : Sudibyo Supardi, Apt, MKes, DR-PH, Center for Research and Development of Pharmacy and Traditional Medicine, NIHRD (ssupardi@litbang.depkes.go.id)
Created : 2003, with 0 files

Hampir semua rumah sakit umum daerah telah membuat standar pengobatan dan formularium rumah sakit, namun belum diketahui (1) seberapa besar kesesuaian penulisan resep untuk penyakit tertentu dengan standar pengobatan yang obatnya tercantum pada FRS, (2) seberapa besar selisih biaya yang harus dibayar pasien akibat penulisan resep yang tidak sesuai dengan standar pengobatan yang obatnya tercantum pada FRS, (3) berapa rerata kemampuan pasien membayar biaya pengobatan, dan (4) bagaimana peran instalasi farmasi dan panitia farmasi terapi berkaitan dengan ketidak sesuaian penulisan resep dan standar pengobatan.

Metode penelitian cross sectional dilakukan terhadap 258 pasien di RSU Kabupaten K serta 272 pasien di RSU Kabupaten B. Sampel penelitian pasien pasien rawat jalan dan rawat inap untuk penyakit TB paru, hipertensi, demam tifoid dan diabetes, serta dilengkapi dari medical record. Pengumpulan data dilakukan dengan kunjungan ke RSU kabupaten untuk melatih pewawancara pasien dan pengumpulan data sekunder. Ujicoba kuesioner pasien rawat jalan, rawat inap dan rumah sakit dilakukan di RSU Kota Jakarta Timur. Analisis data mencakup analisis deskriptif dan analisis biaya obat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa :
1.    Ketidaksesuaian antara jenis obat yang ditulis pada resep dan FRS di RSU Kabupaten K sebesar 66,7% untuk pasien rawat jalan TB Paru/ KP dan 96,6% untuk pasien rawat jalan hipertensi, sedangkan di RSU Kabupaten B sebesar 44,8% untuk pasien TB paru, 82,3% untuk pasien hipertensi, dan 76,7% untuk pasien diabetes mellitus.
2.    Rata-rata biaya obat di RSU Kabupaten K untuk pasien TB paru rawat inap per hari Rp 110.955 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 47.560, pasien hipertensi rawat inap per hari Rp. 121.054 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 31.940, serta pasien demam tifoid rawat inap per hari Rp. 78.432. Rerata biaya obat di RSU Kabupaten B untuk pasien TB paru rawat inap per hari Rp. 81.671 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 47.750, pasien hipertensi rawat inap per hari Rp. 71.417 dan rawat jalan per kunjungan Rp. 25.482, pasien demam tifoid rawat inap per hari Rp. 95.070, serta pasien diabetes rawat inap per hari Rp. 86.481 dan pasien rawat jalan per kunjungan Rp. 30.941.
3.    Rata-rata selisih biaya obat yang harus dibayar oleh pasien rawat jalan per kunjungan RSU Kabupaten K sebesar Rp. 10.060 untuk TB paru dan Rp. 26.552 untuk hipertensi, sedangkan di RSU Kabupaten B sebesar Rp. 5.818 untuk TB paru, Rp. 8.956 untuk hipertensi, dan Rp. 15.218 untuk diabetes melitus.
4.    Kemampuan pasien membayar biaya pengobatan di RSU Kabupaten K Rp. 19.807 dan pasien di RSU Kabupaten B Rp. 15.301, lebih rendah daripada biaya pengobatan rawat jalan per kunjungan, apalagi biaya rawat inap.
5.    Peran PFT dalam menyusun formularium RSU dan standar pengobatan cukup baik, namun demikian sosialisasinya kepada penulis resep belum berjalan dengan baik.













BAB IV
KESIMPULAN
Farmakoekonomi (pharmacoeconomics) adalah suatu metoda baru untuk mendapatkan pengobatan dengan biaya yang lebih efisien dan serendah mungkin tetapi efektif dalam merawat penderita untuk mendapatkan hasil klinik yang baik (cost effective with best clinical outcome).
Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya terbatas misalnya pada Rumah Sakit pemerintah dengan dana terbatas dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang tersedia secara efisien, kebutuhan pasien, profesi pada pelayanan kesehatan (Dokter, Farmasis, Perawat) dan administrator tidak sama dimana dari sudut pandang pasien adalah biaya yang seminimal mungkin.
Manfaat utama yang dapat diperoleh dengan menerapkan farmakoekonomi dalam setiap pengobatan yang dilakukan adalah meminimalkan biaya pengobatan serendah mungkin dari mulai terapi sampai sembuh dan terhindar dari tuntutan pihak asuransi karena pengobatan yang mahal.













BAB V
DAFTAR PUSTAKA

1.    Bootman JL., Townsend RJ., Mc Ghan WF., 2005, Principle of Pharmacoeconimics, 2nd Ed, Harvey Whitney Book Company, USA,
2.    Vogenberg FR., 2001, Introduction to Applied Pharmacoeconomics, McGraw-Hill, USA
3.    Sanchez LA., 1999,  Applied pharmacoeconomics: Evaluation and use of pharmacoeconomic data from literature., Am J Health-Syst Pharm, 56:1630-40
4.    Berbagai sumber artikel tentang farmakoekonomi dari internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar