Rabu, 24 Maret 2010

KEBIJAKAN PUBLIK

DOWNLOAD
I.    PENDAHULUAN
Sejak Indonesia merdeka permasalahan obat senantiasa sejalan dengan isu internasional bahwa obat merupakan komoditi strategis yang mempunyai dimensi yang unik sangat berbeda dengan komoditi lainnya karena terkait proses, hasil dan pengembangan obat itu sendiri. Suatu ciri di negara-negara kurang maju atau negara-negara berkembang obat masih tergolong produk emosional yaitu mendasarkan kepada “need” atau terpaksa herus dibeli karena masih bertumpu pada “out of pocket” sehingga belum tampil sebagai produk rational yang diinginkan oleh konsumen.

Sejak proses awal produksi, obat merupakan komoditi ekonomi,
karena perangkat investasi maupun proses pelaksanaan dilakukan dengan
hukum ekonomi namun obat secara universal diakui bahwa obat memiliki
dimensi tersendiri yaitu Dimensi ekonomi ; memerlukan investasi besar dan padat modal, padat riset dan sarat Import Content. Dimensi Teknologi ; sarat dengan hasil temuan teknologi tinggi dan berlanjut serta senantiasa memerlukan expert dan pengembangan. Dimensi Sosial Kemanusiaan ; berperan penting untuk kesehatan dan keselamatan umat manusia.
Mendalami pemahaman ketiga dimensi keatas sangatlah kompleks apalagi secara strategis diperlukan aplikasi agar terjadi kesepadanan dalam memahami fungsi dan posisi obat itu sendiri. Suatu hal yang unik dalam komoditi obat adalah diperlukannya sinergi diantara swasta, pemerintah maupun peneliti. Ketiga peran tersebut hampir tak terpisahkan dan melekat dalam tampilan manufaktur obat, sebagaimana dirintis untuk berbagai industri melalui konsep ABG (Akademisi, Bisnis, dan Government). memandang begitu strategisnya obat serta menempatkan peran pengusaha sebagai mitra, dan pemerintah tidak hanya bertindak sebagai regulator namun berperan sebagai pula kreator dan motivator. Obat bukan komoditi biasa sehingga para usahawan yang bergerak dibidang farmasi harus mempunyai integritas dalam menghargai produknya terkait safety, efficacy dan quality sedangkan pemerintah harus menempatkan peran sebagai kreator dan motivator.
Dalam Kebijakan Obat Nasional (Konas) disebutkan antara lain bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan obat esensial. Oleh karena itu pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan dan pengendalian obat. Sedangkan pelaku usaha bertanggung jawab atas mutu obat, sementara itu masyarakat berhak mendapatkan informasi yang benar tentang obat. Ketersediaan dan pemerataan obat berarti tersedianya obat (drug availability) di seluruh Indonesia baik jenis maupun jumlah obat, sesuai dengan kebutuhan nyata dan pola penyakit. Sedangkan keterjangkauan obat berarti adanya jaminan akses obat dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat khususnya masyarakat yang tidak mampu baik melalui pelayanan kesehatan sektor publik maupun swasta.

II.    DEFINISI KEBIJAKAN PUBLIK

1. Menurut Chandler dan Plano (1988)
Kebijakan publik merupakan pemanfaatan strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Menurutnya, kebijakan publik merupakan bentuk intervensi negara untuk melindungi kepentingan masyarakat (kelompok) yang kurang beruntung.
Dari definisi Chandler dan Plano, kebijakan publik masuk dalam lapis pemaknaan kebijakan publik sebagai intervensi dari pemerintah. Optimalisasi kebijakan publik kemudian ada pada ranah sumber daya—berupa sistem dalam masyarakatnya, sehingga kebijakan publik akan menghasilkan output yang berfungsi mensinergikan kebijakan tersebut.

2. Easton (1969)
Kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
Dari definisi Easton, maka kebijakan publik merupakan proses pengambilan keputusan (decision making). Berdasarkan definisinya, sebuah kebijakan publik akan efisien ketika berada dalam ranah pemerintahan. Artinya, kekuasaan negara dalam kebijakan publik ini sangat besar.
3. Arief Ramelan Karseno, MA.,Ph.D.
Kebijakan publik dipahami sebagai kebijakan, baik politik, ekonomi, dan sosial yang diambil secara kolektif, demi kepentingan/keuntungan masyarakat secara bersamasama (kolektif). Kebijakan Publik itu bisa berbentuk “aturan atau rambu-rambu” perdagangan dalam hubungan ekonomi antara anggota masyarakat; bisa berbentuk pembuatan atau penyediaan barang yang akan dipakai bersama (disebut barang publik) atau bahkan, bisa berbentuk hukum dan kode etik hubungan antara manusia sebangsa yang sering kita sebut dengan budaya yang diterima secara umum dalam masyarakat itu.

4. Thomas R. Dye (1981)
Kebijakan publik sebagai apa yang tidak dilakukan maupun yang dilakukan oleh pemerintah. Dari definisi Dye, jelas bahwa kebijakan publik masuk dalam klasifikasi decision making.

5. Ir. Dharma Gupta
Gupta, dalam tulisannya menekankan perlunya sosialisasi pejabat terhadap kebijakan publik yang dibuat. Dicontohkan tentang kebijakan dalam penentuan nilai ebtanas dan rencana strategis pembangunan suatu wilayah. Ketika itu tidak disosialisasikan, maka kebijakan itu tidak lagi menjadi kebijakan publik. Sehingga kebijakan publik artinya semata peraturan dan ketentuan yang diciptakan oleh pemerintah saja.
Dari tulisannya, kebijakan publik diklasifikasikan sebagai serangkaian kerja pejabat publik. Dalam artian, kebijakan publik akan efisien jika difokuskan pada fungsi managementnya. Menurut Gupta, ketika sosialisasi program dapat merata, masyarakat dapat mengimplementasikan kebijakan dengan tujuan serta aturan-aturan yang jelas.

6. Ratih Pratiwi Anwar, S.E. M.Si
Dari artikelnya, dapat dilihat bahwa Ratih cenderung mengartikan kebijakan publik sebagai proses pengambilan keputusan. Dia menitikberatkan sebuah kebijakan pada cara pemerintah menciptakan sebuah kebijakan yang menguntungkan bagi rakyat banyak. Dicontohkan dalam artikelnya tentang perlindungan terhadap obat lokal.
Masuknya obat-obat modern dan gaya hidup masyrakat yang mulai menimbulkan nilai lokalitas membuat Ratih berpikir harus ada institusi yang berani menciptakan kebijakan yang melindungi pembuat obat tradisional. Dan di situlah negara dan pejabat public diperlukan.
Dari artikelnya, kebijakan publik menurutnya dapat diklasifikasikan ke dalam proses decision making, untuk memutuskan apakah kebijakan perlindungan obat tradisional benar-benar diperlukan

7. Ir. Djoko Wintolo
Kebijakan publik masuk dalam klasifikasi intervensi pemerintah. Cukup jelas dalam tulisannya, dicontohkan maslah pendidikan. Di sini pendidikan adalah proses pengenalan terhadap kebijakan itu sendiri. Dengan menjadikan masyarakat sebagai manusia yang berpendidikan, diharapkan masyarakat menjadi sosok yang mampu menghargai atau memberi apresiasi terhadap sebuah profesi sehingga tidak perlu banyak kebijakan untuk membuatnya tetap diterima. Kebijakan publik kemudian menjadi lebih fokus pada prosedur kerja sistem sosial, bukan pada prosedur tatanan orang-orang yang melakukan kebijakan tersebut. Dengan masyarakat yang berpendidikan, artinya, intervensi pemerintah dalam sebuah perubhan struktur masyarakat begitu besar. Dan itu artinya, langsung atau tidak, akan ada efek kebijakan untuk problem solving sebuah struktur masyarakat. Intinya, pendidikan itu sendiri harus mampu menyesuaikan dengan sistem sosial yang tepat untuk menghasilkan kebijakan yang tepat pula.

8. Menurut Anderson (1984)
 kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan oleh suatu tujuan tertentu atau tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan pada periode tertentu jika terjadi suatu subjek atau krisis.


III.    TUJUAN
Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu :
1.    Untuk menjamin kepentingan umum semaksimal mungkin.
2.    Ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku.
3.    Didorong oleh keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif. 

IV.    PRINSIP KEBIJAKAN PUBLIK
1.    Kejelasan
2.    Akurasi
3.    Kesederhanaan
4.    Keamanan
5.    Tanggung jawab
6.    Kemudahan akses
7.    Kenyamanan.
8.    Membuat peraturan yang efektif
9.    Menyediakan publik servis yang efektif dan accountable
10.    Meningkatkan standar hidup masyarakat.

V.    KARAKTERISTIK KEBIJAKAN
1.    Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.
2.    Berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah
3.    Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.
4.    Bersifat positif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negative dalam arti keputusan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.
5.    Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa.

VI.    APLIKASI KEBIJAKAN PUBLIK
Implementasi kebijakan publik merupakan aspek yang penting dari seluruh proses kebijakan, karena apalah arti dari suatu kebijakan, apabila tidak diimplementasikan dengan baik (Mustofa Wijaya,2001)
A.    Pemerintah
Kebijakan Obat Nasional (KONAS)
A.    1     Maksud dan Tujuan
KONAS dalam pengertian luas dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Pemilihan obat esensial yang tepat dan pemusatan upaya pada penyediaan obat esensial tersebut terbukti telah meningkatkan akses obat serta penggunaan obat yang rasional.
Semua obat yang beredar harus dijamin keamanan, khasiat dan mutunya agar betul betul memberikan manfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dan justru tidak merugikan kesehatan. Bersamaan dengan itu masyarakat harus dilindungi dari salah penggunaan  dan penyalahgunaan obat 
          Dengan demikian tujuan KONAS adalah untuk menjamin: 
1.  Ketersediaan , pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial
2.  Untuk menjamin keamanan, khasiat  dan mutu semua obat yang beredar
3.  Masyarakat terlindung dari salah penggunaan dan penyalahgunaan obat
Ruang lingkup KONAS mencakup pembiayaan, ketersediaan dan pemerataan, keterjangkauan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat rasional, pengawasan, penelitian dan pengembangan sumber daya manusia dan pemantauan serta evaluasi. Dalam hal ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat diutamakan pada obat esensial, sedangkan dari aspek jaminan mutu diberlakukan pada semua jenis obat.
 Selain tujuan umum yang terkait dengan kesehatan dasar, ada pula tujuan – tujuan umum lainnya, termasuk tujuan Ekonomi  misalnya, untuk mengurangi penggunaan devisa negara dalam impor obat atau untuk meyediakan lapangan pekerjaan seperti dalam bidang penyediaan dan penyeraran obat, pengemasan,atau produksi obat. Juga ada beberapa strategi ekonomi untuk obat seperti menjamin pembiayaan obat yang memadai serta berkesinambungan merupakan tantangan besar. Pembiayaan publik bagi obat disarana pelayanan kesehatan pemerintah diterima sebagai kebijakan yang sah di banyak negara dan oleh banyak lembaga. Selain itu mekanisme pembiayaan seperti biaya berobat (user fee) merupakan suatu hal yang dapat diterapakan dinegara – negara miskin guna meningkatkan sumberdaya pembiayaan. Kebijakan keuangan harus dirancang untuk memaksimalkan sumberdaya bagi obat dan mempertahankan harga obat serendah mungkain disektor pemerintahan. Mekanisme yang mungkin digunakan untuk meningkatkan akses ekonomi terhadap obat esensial disemua sektor antara lain adalah cakupan asuransi yang lebih luas, informasi harga, pengganti obat generik untuk meningkatkan persaingan harga, peraturan tentang harga produsen, serta peraturan tentang batas harga enceran
            Peningkatan efisiensi dalam sistem kefarmasian dapat membantu negara mengatasi dampak dari macroeconomic shocks seperti devaluasi mata uang franc di Afrika Barat mendorong negara – negara yang ada di wilayah tersebut untuk memperkuat kebijakan obat esensial mereka bagi sektor pemerintahan serta mengenalkan mekanisme untuk mempromosikan obat dengan mana generik kepada masyarakat.
            Tujuan pembangunan nasional misalnya memperbaiki sistem transportasi dan komunikasi, mengembangkan produksi farmasi nasional, melindungi hak kekayaan intelektual atau menghindar pemberian hak tersebut kepada pabrik obat untuk memproduksi abat tertentu (guna menghindari harga obat yang sangat mahal), Terlepas dari keadaan tertentu yang dihadapi oleh suatu negara. Konas yang komperhensif seharusnya menguraikan dengan jelas peran sektor pemerintahan dan swasta. Selain itu kebijakan tersebut harus mempertimbangkan efisiensi (dengan sumberdaya yang ada dapat menyelenggarakan pelayanaan yang semaksimal mungkin), pemerataan (akses yang merata), serta kesinambungan pengaturan pasokan obat yang ada berbeda – beda tergantung dari pemerintah dalam hal pembiayaan, penyaluran, penyediaan, dan penyerahan obat. Banyak negara berkembang mempertahankan sistem pemerintahan yang mengatur pengadaan dan impor obat selama puluhan tahun, karena kegiatan sektor swasta berpusat diwilayah perkotaan dan tidak ada sistem asuransi kesehatan, Meskipun sistem seperti ini tetap dibutuhkan, masih dibutuhkan penyempurnaan dalam hal penyelenggaraan, manajemen, dan pembiayaan.  
    A.2  STRATEGI DAN LANDASAN KEBIJAKAN
 a. Strategi 
 1. Ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat esensial . 
        Akses obat esensial bagi masyarakat secara garis besar dipengaruhi oleh empat faktor utama,  yaitu penggunaan obat secara rasional; harga yang terjangkau; pendanaan yang berkelanjutan; dan sistem kesehatan serta sistem penyediaan obat yang dapat diandalkan.
  Berdasarkan pola pemikiran di atas ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial hendak dicapai melalui strategi berikut: 
a.     Sistem pembiayaan obat berkelanjutan, baik sektor publik maupun sektor swasta mengacu pada UU No  40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang dijabarkan dalam berbagai bentuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). 
b.  Rasionalisasi harga obat dan pemanfaatan obat generik. 
c.     Penerapan sistem pengadan dalam jumlah besar  (bulk purchasing) atau  pengadaan secara terpusat (pool procurement) disektor publik.  Disertai  distribusi obat yang efektif, efisien dan akuntabel, pada sektor publik dan swasta.
    d.     Pengembangan dan evaluasi terus-menerus, model dan bentuk pengelolaan obat  sektor publik di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan dan daerah rawan.
    e.  Penyiapan regulasi yang tepat untuk menjamin ketersediaan obat . 
    f.    Memanfaatkan skema  dalam Trips : compulsary license, government use, paralel impor. 
2. Jaminan keamanan,  khasiat dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari berbagai dampak  salah penggunaan dan penyalahgunaan obat.
         Pengawasan dan pengendalian obat mulai dari impor, produksi hingga ke tangan pasien, merupakan kegiatan yang  tak  terpisahkan.  Oleh karena itu keamanan, khasiat dan mutu semua obat yang beredar  harus dapat dijamin melalui strategi berikut: 
        a.  Penilaian dan pengu jian  melalui  proses pendaftaran,  pembinaan, pengawasan dan pengendalian (binwasdal) produksi, impor,  ekspor, distribusi dan pelayanan obat merupakan   suatu kesatuan yang utuh, dilakukan secara transparan dan independen. 
        b.  Adanya dasar hukum, dan penegakan hukum secara konsisten, dengan efek jera yang tinggi untuk setiap pelanggaran.
        c.  Penyempurnaan ketentuan  sarana produksi, sarana distribusi,  sampai  dengan tingkat pengecer.
          d. Pemberdayaan masyarakat melalui penyediaan dan penyebaran informasi terpercaya, sehingga terhindar dari penggunaan obat yang tidak memenuhi persyaratan. 
    e. Penyempurnaan dan pengembangan berbagai standar dan pedoman pengembangan bahan obat. 
 3.  Penggunaan obat secara rasional
    Pengembangan serta penerapan pedoman terapi dan kepatuhan terhadap Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), merupakan dasar dari pengembangan penggunaan obat secara rasional. Salah satu masalah yang mendasar atas terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional adalah informasi yang tidak benar, tidak lengkap dan menyesatkan. Oleh karena itu perlu dijamin agar pengguna obat, baik pel ayan kesehatan maupun masyarakat mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas upaya untuk penggunaan obat yang rasional dilakukan melalui strategi berikut:
a. Penerapan Daftar Obat Esensial Nasional  (DOEN) dalam setiap upaya pelayanan kesehatan, baik perorangan maupun masyarakat, melalui pemanfaatan pedoman terapi dan formularium . 
b.  Adopsi obat dari DOEN pada pengadaan obat dan skema JPKM.
c. Penerapan pendekatan farmakoekonomi melalui kajian  biaya efektif dan kemanfaatan (Cost effectiveness and cost benefit analysis) pada seleksi obat yang digunakan di semua tingkat pelayanan.
d.  Penerapan pelayanan kefarmasian yang baik. 
e.  Menjamin diterimanya informasi yang benar, lengkap, dan tidak menyesatkan oleh para pengguna.
f.  Pemberdayaan masyarakat melalui KIE (komunikasi, informasi dan  edukasi). 
g.  Pembatasan jumlah dan jenis obat yang beredar. 


      b.  Landasan Kebijakan
        Untuk mencapai tujuan KONAS ditetapkan landasan kebijakan sebagai berikut: 
1. Pemerintah  melaksanakan  pembinaan, pengawasan  dan  pengendalian obat, sedangkan  pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi usahanya. Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggungjawab pemerintah dilakukan secara profesional, bertanggungjawab, independen dan transparan.
2. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan   pemerataan obat esensial yang dibutuhkan masyarakat.
3. Pemerintah  dan pelayan kesehatan  bertanggungjawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang rasional. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi  obat yang benar. Pemerintah memberdayakan masyarakat  untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan.
4. Pemerintah mendorong terlaksananya penelitian dan pengembangan obat yang mencakup aspek sistem(manajamen obat, manajemen  SDM, penggunaan obat rasional, dan lain-lanin), komoditi obat, proses (pengembangan obat baru), kajian regulasi dan kebijakan. 
5.     Pemerintah dan semua pihak terkait bertanggungjawab atas ketersediaan SDM yang dapat menunjang pencapaian sasaran.
A.3 POKOK-POKOK DAN LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN
 a. Pembiayaan Obat
Langkah kebijakan :
1.  Penetapan target pembiayaan obat sektor publik secara nasional
2. Departemen Kesehatan mengembangkan mekanisme pemantauan pembiayaan obat sektor publik di daerah. 
3. Pemerintah menyediakan anggaran obat untuk program kesehatan nasional. Sedangkan untuk masyarakat yang dikategorikan mampu dapat berkontribusi. 
4. Pemerintah Pusat menyediakan  dana buffer stok nasional untuk kepentingan penanggulangan bencana, dan memenuhi kekurangan obat di kabupaten/kota.    
5. Sesuai dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku, pemerintah daerah menyediakan anggaran obat yang dialokasikan dari Dana Alokasi Umum (DAU), khususnya untuk pelayanan kesehatan strata pertama. Mengingat obat sangat penting artinya bagi kesejahteraan masyarakat, maka perlu alokasi anggaran yang cukup.
6. Sesuai dengan  Undang-Undang No 40 tahun 2004 tentan  SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional), skema JPKM dan sistem jaminan pemeliharaan kesehatan lainnya harus menyelenggarakan pelayanan kesehatan paripurna  termasuk obat.
7.  Biaya yang mungkin dikenakan kepada pasien di pelayanan,   khususnya Puskesmas, semata-mata merupakan alat “serta bayar” (co-payment) dan tidak ditujukan sebagai sumber penghasilan. 
8. Untuk menghadapi keadaan darurat, maka  pemerintah harus mengutamakan penggunaan obat dalam negeri. Bantuan dari Negara donor sifatnya hanya supplemen. Mekanisme obat bantuan harus mengikuti kaidah internasional maupun ketentuan dalam negeri. 
9. Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin kewajaran harga obat. 


 b.  Ketersediaan Obat
Langkah Kebijakan :
    1.  Memberikan insentif untuk produksi dalam negeri tanpa menyimpangdari dan dengan memanfaatkan peluang yang ada dalam perjanjian WTO.  
    2.     Menunjang ekspor obat untuk mencapai skala produksi yang  lebih ekonomis untuk menunjang perkembangan ekonomi nasional. Berkenaan dengan itu otoritas regulasi obat mengupayakan pengakuan internasional atas sertifikasi nasional  serta  memberikan fasilitasi sertifikasi internasional pabrik farmasi.
    3. Peningkatan  kerjasama regional, baik sektor publik maupun sektor swasta, dalam rangka perdagangan obat internasional untuk pengembangan produksi dalam negeri.
    4.  Peningkatan efisiensi dan efektivitas distribusi obat melalui regulasi yang tepat.
    5.     Peningkatan pelayanan kefarmasian melalui peningkatan profesionalisme tenaga farmasi sesuai dengan stándar pelayanan yang berlaku.  
    6.      Pemberian insentif untuk pelayanan obat di daerah terpencil.
    7. Peningkatan peran serta pengecer obat terutama di daerah terpencil untuk penyebaran pelayanan obat bebas secara baik. 
    8.  Ketersediaan obat sektor publik:
a. Pembentukan Instalasi Farmasi di Propinsi dan Kabupaten/Kota Pemekaran serta Revitalisasi  Instalasi   Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) yang sudah   ada  sebagai Unit Pengelola Obat  dengan memanfaatkan sistem informasi pengelolaan obat yang efisien dan efektif.
b. Penerapan prinsip efisiensi dalam pengadaan obat, dengan mengikuti DOEN, serta dengan pemusatan pengadaan obat di daerah pada tingkat kabupaten/kota.
c.  Penerapan pengelolaan obat yang baik di IFK.
d. Penerapan prinsip transparansi dalam pengadaan obat sektor publik serta pemisahan fungsi dan tanggung jawab seleksi, kuantifikasi, spesifikasi produk, pra-kualifikasi pemasok, dan pelaksanaan tender.
e. Memberikan kesempatan  kepada industri  dalam negeri  apabaila diperlukan   memanfaatkan  skema compulsary license, government use, pararel impor untuk memenuhi keperluan obat disektor publik
     9.      Ketersediaan obat dalam keadaan darurat
a. Pengorganisasian suplai obat dalam keadaan darurat sesuai ketentuan yang berlaku..
b. Departemen Kesehatan menyusun pedoman pengadaan obat untuk keadaan darurat yang ditinjau kembali secara berkala. 
c. Pengadaan obat untuk keadaan darurat mengikuti pedoman Departemen Kesehatan dan pemerintah mengambil langkah – langkah untuk menjamin ketepatan jumlah, jenis, mutu dan waktu penyerahan obat.
d. Untuk menghadapi keadaan darurat , maka  pemerintah harus mengutamakan  obat produksi   dalam negeri. Bantuan dari Negara donor sifatnya hanya  sisipan (supplemen). Mekanisme obat bantuan harus mengikuti kaidah internasional maupun ketentuan dalam negeri. 
10. Pemerintah  mengembangkan mekanisme pemantauan ketersediaan obat esensial dan mengambil langkah-langkah penyediaannya.
11.Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin ketersedian obat.
12.Untuk mengatasi masalah penyakit tertentu yangg memerlukan Orphan Drug, maka  pemerintah dapat menggunakan Special Access Scheme.

c.  Keterjangkauan
    Langkah Kebijakan :
1.  Peningkatan penerapan Konsep  Obat Esensial dan Program Obat Generik: 
a. Sosialisasi Konsep Obat Esensial dalam pelayanan kesehatan baik sektor publik maupun swasta.
b.  Menerapkan DOEN dalam seluruh sarana pelayanan kesehatan. 
c.  Secara konsisten memasyarakatkan obat generik.
d.     DOEN merupakan bagian dari kurikulum dalam pendidikan dan pelatihan tenaga profesi kesehatan. 
e.     Peningkatan Program Obat Generik dengan pengendalian mutu dan harga dengan memanfaatkan informasi harga obat internasional. 
f.     Mengizinkan pelaksanaan registrasi obat generik yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan sebelum hak paten obat yang bersangkutan kadaluwarsa. 
g.    Pemberian insentif kepada apotek dalam pelayanan obat esensial dan obat generik.
2.  Pemerintah melaksanakan  evaluasi  harga secara periodik dengan membandingkan dengan harga referensi internasional mengikuti metoda standar internasional yang terkini untuk: 
a. Membandingkan  harga dengan  harga di negara lain dalam rangka mengambil langkah kebijakan yang tepat mengenai harga obat;
b. Membandingkan  keterjangkauan obat oleh masyarakat di berbagai daerah (baik perkotaan maupun pedesaan), dan di sarana pelayanan berbagai  sektor (baik di sektor publik, sektor swasta maupun sektor swasta nirlaba) dalam rangka mengambil kebijakan yang tepat;
c. Menilai  dampak kebijakan yang telah dilaksanakan mengenai harga obat.
3.    Pemanfaatan studi farmako - ekonomik diunit pelayanan kesehatan secara terintegrasi untuk meningkatkan efisiensi.
4. Pengendalian harga jual pabrik:    
a. Pemerintah melakukan perbandingan harga obat yang masih dilindungi hak paten pemerintah melaksanakan lisensi wajib sesuai dengan Undang-undang No 14 Tahun 2001 tentang Paten. Dengan harga di negara lain dengan mengacu pada hasil pengukuran harga obat bila perlu.
b. Harga  obat  me-too (kopi) tidak boleh lebih mahal dari harga obat paten yang bersangkutan.
5. Pemerintah mengembangkan sistem informasi harga obat bagi masyarakat.
6.    Pemerintah mengembangkan sistem pengadaan obat sektor publik dengan menerapkan prinsip  pengadaan dalam jumlah besar atau pengadaan terpusat.
7.     Penghapusan pajak dan bea masuk untuk obat esensial
8.    Pemerintah perlu melakukan kebijakan penetapan harga obat untuk menjamin keterjangkauan harga obat. 
d. Seleksi Obat Esensial 
    Langkah Kebijakan :
1.  Pembentukan komite nasional untuk pemilihan obat esensial.
2.    Pemilihan obat esensial harus terkait dengan pedoman terapi atau standar pengobatan yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini.
3. Seleksi obat esensial dilakukan melalui penelaahan ilmiah yang mendalam dan pengambilan keputusan yang transparan dengan melibatkan para ahli dalam bidang obat dan kedokteran, berbagai strata sarana pelayanan kesehatan UKM dan UKP dan lembaga pendidikan tenaga profesi kesehatan. 
4. Revisi DOEN dilakukan secara periodik paling tidak setiap 3 - 4 tahun dengan melalui proses pengambilan keputusan yang sama.
5. Penyebarluasan DOEN dan setiap revisi DOEN kepada sarana pelayanan kesehatan sampai daerah yang terpencil, pendidik tenaga profesi kesehatan, pelayan kesehatan, mahasiswa kesehatan, baik dalam bentuk tercetak maupun elektronik. 
6.    Pengintegrasian Konsep Obat Esensial dalam pendidikan formal, pendidikan berkelanjutan maupun pelatihan tenaga profesi kesehatan.  
e.  Penggunaan Obat Yang Rasional
Langkah Kebijakan :
1.    Pembentukan komite nasional multidisiplin untuk mengkoordinasi langkah kebijakan penggunaan obat. 
2. Penyusunan pedoman terapi  standar  berdasarkan   bukti ilmiah terkini yang di revisi secara berkala.
3.  DOEN sebagai acuan pemilihan obat. 
4.  Pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi di rumah sakit.
5. Pembelajaran farmakoterapi berbasis masalah dalam kurikulum S1 tenaga profesi kesehatan.
6.  Pendidikan berkelanjutan  sebagai  persyaratan izin menjalankan kegiatan profesi. 
7.  Pengawasan, audit dan umpan balik dalam penggunaan obat. 
8.  Penyediaan informasi obat yang jujur dan benar.
9.  Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat untuk menggunakan obat secara tepat dan benar.
10.Langkah regulasi dan penerapannya untuk menghindarkan insentif pada penggunaan dan penulisan resep obat tertentu.
11.Regulasi untuk menunjang penerapan berbagai langkah kebijakan penggunaan obat  secara  rasional.
12. Alokasi anggaran pemerintah yang memadai untuk memastikan ketersediaan obat esensial serta untuk pelatihan tenaga profesi kesehatan.
f.  Regulasi Obat
      Langkah Kebijakan :
1.  Regulasi obat dilaksanakan secara transparan dan independen.
2. Perkuatan fungsi  pengawasan obat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh terdiri dari:
a.  Pendaftaran obat nasional;
b.  Perizinan sarana produksi dan distribusi; 
c.  Inspeksi sarana produksi dan  sarana distribusi obat; 
d.  Akses laboratorium pemeriksaan mutu;
e.  Pelulusan uji oleh regulator yang kompeten;
f.  Surveilans pasca pemasaran; 
g.  Otorisasi uji klinik.
3. Peningkatan sarana dan prasarana regulasi obat, serta pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang memadai.
4.  Pemantapan usaha impor, produksi, distribusi, dan pelayanan obat. 
5.  Peningkatan kerjasama regional maupun internasional meliputi standar mutu, standar proses, dan pengembangan sarana  jaminan mutu (quality assurance)  obat.
6. Pengembangan tenaga baik dalam jumlah dan mutu sesuai dengan stándar kompentesi. 
7. Pengakuan internasional terhadap sertifikasi nasional obat, sarana produksi obat, dan tenaga profesional di bidang obat. 
8. Peningkatan inspeksi jalur distribusi yang ditunjang prosedur operasi standar,  dilaksanakan oleh tenaga inspektur terlatih  dengan   jumlah memadai, serta dilengkapi peralatan yang lengkap (antara lain untuk tes obat sederhana).
9. Pembentukan Pusat Informasi Obat di pelayanan kesehatan dan Dinas Kesehatan untuk intensifikasi penyebaran informasi obat.  
10.    Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam penegakan hukum secara konsisten.  
11. Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan peran serta masyarakat untuk berperan dalam kontrol sosial menghadapi obat palsu dan obat tidak terdaftar melalui berbagai jalur komunikasi dan berbagai media.
12.    Pengembangan sistem nasional farmakovijilan sebagai pengembangan dari Monitoring Efek Samping Obat Nasional (MESO Nasional). 
13. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mengatur Promosi obat dengan mengadopsi “Ethical Criteria for Medicinal Promotion” dari WHO untuk merespons promosi obat non-etis.
g.  Penelitian Dan Pengembangan
Langkah Kebijakan:
1. Pengembangan,  dan modifikasi indikator penerapan KONAS. 
2.    Pengembangan model pengelolaan terutama obat esensial di  daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah rawan  bencana, daerah tertinggal, guna menunjang ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan 
3.    Penelitian operasional untuk evaluasi penerapan KONAS secara berkala sesuai dengan pedoman WHO untuk dapat melakukan penilaian kemajuan penerapannya.
4. Pengembangan obat baru untuk  penyakit  baru (emerging),  muncul-kembali (re-emerging), obat yang secara ekonomis tidak menguntungkan namun sangat diperlukan (orphan drugs).
5.    Pengembangan dan revitalisasi Sistem Informasi Obat di  Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota (IFK) untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan khususnya obat esensial.
6.  Pengembangan dan evaluasi sistem monitoring keamanan penggunaan obat. 
7.  Kajian atas efektifitas sistem sampling pada uji petik pengujian obat di pasaran. 
8.    Penelitian dan pengembangan penggunaan obat rasional mulai dari identifikasi masalah, besarnya masalah, memilih strategi peningkatan penggunaan obat yang rasional
9.     Penerbitan dan revisi pedoman cara uji klinis yang baik untuk berbagai  kelas terapi obat.
h.  Pengembangan Sumber Daya Manusia 
Langkah kebijakan :
1.  Melakukan pemetaan kebutuhan tenaga farmasi di bidang obat. 
2. Penyediaan tenaga farmasi sesuai dengan kebutuhan di setiap jenjang pelayanan kesehatan.
3. KONAS merupakan bagian dari kurikulum  pendidikan dan pelatihan tenaga profesi kesehatan. 
4.    Penerapan KONAS pada pendidikan berkelanjutan oleh organisasi profesi kesehatan.
5. Penyelenggaraan pelatihan kerja (in-job training) untuk menunjang pengawasan obat , penggunaan obat yang rasional serta   pengelolaan obat esensial secara efektif dan efisien.
6. Kerjasama regional dan internasional  untuk  pengembangan SDM a.l. kerjasama dengan organisasi internasional dan dengan negara donor. 
i.  Pemantauan Dan Evaluasi
     Langkah Kebijakan :
1. Pemantauan dilakukan secara berkala dan evaluasi dilakukan oleh suatu komite nasional yang melibatkan instansi terkait. 
2.    Lingkup pemantauan dan evaluasi meliputi antara lain prioritas penerapan, kapasitas,  pelaksanaan  dan kemajuan pencapaian tujuan. 
3.  Pemantauan dapat dilakukan dengan penetapan daerah sampel.
4.  Pelaksanaan pemantauan mengikuti pedoman WHO dan bekerjasama dengan WHO untuk memungkinkan membandingkan hasilnya dengan negara lain. 
5.  Pemanfaatan hasil pemantauan dan evaluasi untuk: 
a. Tindak lanjut berupa penyesuaian kebijakan, baik penyesuaian opsi kebijakan maupun penetapan prioritas. 
b.  Negosiasi dengan instansi dan badan terkait. 
c. Bahan pembahasan dengan berbagai badan internasional maupun donor luar negeri.

B.    Swasta
Tata Niaga Obat di RS.Swasta
Ada 5 hal yang baru dalam pola baru manajemen bisnis obat di rumah sakit swasta:
1.    Standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi obat.
Standarisasi obat atau Formarium pada awalnya adalah untuk mengatur peredaran obat dengan memberikan kebebasan farmasi untuk mempromosikan produk ke komite medik mengenai keunggulan obat agar masuk dalam komposisi obat formarium rumah sakit yaitu tiga jenis obat: satu obat original, dua produk me too dan satu obat generik.
Hal yang menonjol adalah sedikitnya penggunaan obat generik yang masuk standart, kemungkinan harga obat generik belum memenuhi skala ekonomis bagi rumah sakit swasta padahal termasuk obat esensial yang harus ada di setiap layanan kesehatan, sebagai gantinya rumah sakit mengganti obat sejenis yang bermerek yang harganya mahal. Dengan keharusan membayar setiap obat bermerek maka menciptakan suatu pasar oligopoli karena mengedepankan farmasi yang bisa melakukan hal ini , padahal hampir semua prinsipal farmasi terbentur kode etik global yang mengharamkan cara ini.
2.Sistem Pembelian Group
Pemberian diskon oleh pihak farmasi biasanya berdasarkan kuantitas unit pembelian di sebuah rumah sakit.semua rumah sakit yang menjadi group mendapat harga yang sama artinya diskon akan sama semua walaupun masing-masing group nilai pembeliannya berbeda-beda.
Sistim yang sangat menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang didapati oleh salah satu rumah sakit group yang pembelian besar. Sistim yang sangat menguntungkan karena berpatokan kepada diskon terbesar yang didapati oleh salah satu rumah sakit group yang pembelian besar.
3.Sistem pembelian obat dengan Konsinyasi
Beberapa rumah sakit bahkan rumah sakit pemerintahpun sudah menerapkan sistim ini. pembelian konsinyasi ke distributor dengan jangka waktu pembayaran 60 hari dan setelah obat laku maka akan diproses pembayaran, jika tidak laku berhak meretur obat . Jika distributor berberatan dengan konsinyasi, jangan harap prinsipal farmasi dapat mengembangkan pasarnya.
4.Kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan  memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu.
Hampir semua rumah sakit swasta sudah menjalankan “kontrak discount dibayar dimuka” ini, setiap pabrikan akan dipanggil oleh manajemen rumah sakit untuk melakukan kontrak obat selama satu tahun dengan membayar uang discount di muka. Menurut sumber dari beberapa rumah sakit terkemuka, system advance discount ini sebuah rumah sakit besar dapat menghimpun dana rata-rata minimal 1.5 milyar pertahun dari kontrak obat.
5.Resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah   Sakit
Biasanya jika berobat di rumah sakit, pasien akan mendapat resep yang bebas ditebus apakah di rumah sakit tersebut atau di apotik dekat rumah pasien. Sistim ini sudah dijalankan beberapa RS Swasta, dokter akan meresepkan obat dengan memberikan resep yang hanya bisa dibaca dengan “kode” oleh pihak rumah sakit saja, ada pula yang memberikan kartu setelah berobat untuk mengambil obat di farmasi RS. tujuan utama memang mengkandangkan resep agar tidak keluar ke apotik disekitar, sungguh ironi bagi apotik-apotik yang akan mengalami sepi resep pasien.
KESIMPULAN
1.    Kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah dan swasta yang kemudian dituangkan dalam berbagai dalam tindakan nyata, mempunyai berbagai tujuan yaitu untuk menjamin kepentingan umum semaksimal mungkin, ditetapkan berdasarkan prosedur yang berlaku, dan didorong oleh keinginan untuk menghindari pertentangan yang destruktif.
2.    Aplikasi kebijakan publik oleh pemerintah salah satu contohnya adalah tentang kebijakan obat nasional (Konas) dimaksudkan untuk meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan, untuk tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Keterjangkauan dan penggunaan obat yang rasional merupakan bagian dari tujuan yang hendak dicapai.
3.    Aplikasi kebijakan publik oleh swasta misalnya tata niaga obat di rumah sakit swasta adalah standarisasi obat yang mengharuskan pihak farmasi membayar per produk dan kewajiban donasi obat, sistem pembelian group, sistem pembelian dengan konsinyasi, kerjasama dengan Prinsipal farmasi dalam bentuk Kontrak obat dengan  memberikan “advance discount” ke Rumah Sakit selama periode tertentu, dan resep obat dari dokter rawat jalan terintegrasi langsung di Farmasi Rumah   Sakit.







DAFTAR PUSTAKA
1.    Anonim, 2006.,”Kebijakan Obat Nasional”, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
2.    www.popularartikel.com/html., “Obat dalam dimensi keempat”
3.    Suryani, 2008.,”Kebijakan Publik”, KMPK Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.





1 komentar: